Penelitian menyebutkan bahwa pasangan yang pernah mengalami keguguran cenderung putus hubungan bahkan sampai bertahun-tahun setelah peristiwa kehilangan.
Untuk keguguran sebelum 20 minggu, kemungkinan retaknya hubungan adalah 22 persen lebih tinggi dibanding mereka yang baik-baik saja selama kehamilan setelah tiga tahun.
Dan untuk meninggal saat lahir atau keguguran di atas 20 minggu, berisiko putus hubungan atau perceraian hingga 40 persen setelah satu dekade setelah peristiwa.
Ahli kebidanan dan ginekologi dari Universitas Michigan Dr. Katherine Gold mengatakan kalau keguguran dapat menyebabkan kesedihan, kemarahan dan rasa bersalah. Mungkin saja perasaan ini dapat memudar sejalannya waktu, tapi tidak secepat yang orang lain pikirkan atau perkirakan.
Selanjutnya Ketua Obstetri dan ginekologi New York University Medical Center Langone Dr. David Keefe menjelaskan bahwa ada kerugian yang berbeda antara pria dan wanita saat mengalami keguguran.
Pada perempuan, rasa kehilangan berlangsung lebih lama dan cenderung mengalami perubahan fisik. Sementara pria, masih bisa bersikap biasa saja walaupun pasti ada ikatan emosional yang kuat antara janin dengan harapannya menjadi ayah.
"Pria dan wanita cenderung berbeda dengan perempuan ingin mendiskusikan dan laki-laki cenderung ingin menutupinya dengan melakukan kegiatan di luar," ujar Keefe.
Namun yang perlu diwaspadai pada pria adalah awalnya mereka memahami kebutuhan pasangannya untuk berdiskusi tentang kerugian-kerugian yang terjadi. Tapi setelah berbulan-bulan berlalu, mereka juga bisa menjadi frustasi.
Belum lagi untuk pasangan yang mendapatkan kehamilan dengan sebelumnya melalui jalan pengobatan infertilitas. Mereka harus menanggung kerugian emosional sekaligus finansial.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar