KONTROVERSI pencaplokan wilayah teritorial Indonesia oleh Malaysia, terkait patok perbatasan di Dusun Camar Bulan, Desa Temajuk, Kecamatan Paloh, Kabupaten Sambas, kembali memanas.
Gubernur Kalbar, Cornelis, sejak dua pekan lalu sudah mengungkapkan kegelisahannya atas pencaplokan wilayah tersebut, yang luasnya sekitar 1.499 hektare. Di Tanjung Datu, sekitar 80 ribu meter persegi lahan di pantai juga dicaplok. Anggota Komisi I DPR, TB Hasanuddin, kemudian meledakkan isu tersebut di Jakarta, Sabtu (8/10/2011).
"Sebagai gubernur, saya tak akan menyerahkan sejengkal tanah pun kepada Malaysia. Kita harus tetap mempertahakan tanah itu," demikian ditegaskan Cornelis, yang keyakinannya soal kepemilikan Camar Bulan mengacu pada Traktaat London 1824 yang jelas memasukkan Camar Bulan sebagai wilayah Indonesia.
Untuk diketahui, Traktaat London adalah kesepakatan bersama antara Kerajaan Inggris dan Belanda terkait pembagian wilayah administrasi tanah jajahan kedua negara.
Di antara isi perjanjian mencakup batas negara antara Indonesia dan Malaysia di Kalimantan didasarkan pada watershead. Maksudnya, yang menjadi tanda pemisah adalah aliran sungai atau gunung, deretan gunung, dan batas alam dalam bentuk punggung pegunungan.
Yang jadi persoalan, ada kesepahaman antara Indonesia-Malaysia yang dihasilkan dari pertemuan Kinabalu (1975) dan Semarang (1978) yang memasukkan Camar Bulan sebagai wilayah Malaysia, tepatnya di patok batas A 88 sampai patok A 156.
Akibat MoU itu, garis perbatasan yang semula merupakan garis lurus, berubah menjadi cekung ke dalam wilayah Indonesia. Malaysia ngotot mempertahankan Camar Bulan dengan mengacu pada MoU tersebut, yang sejatinya belum diratifikasi.
Kasus Camar Bulan ini menjadi tanda tanya besar, mengapa Indonesia melunak dan mengikuti kemauan Malaysia dalam pertemuan di Semarang 1978? Apakah pemerintah ketika itu memahami betul kondisi lapangan di Camar Bulan, dengan sejumlah bukti otentik yang menunjukkan kepemilikan RI atas wilayah tersebut, atau justru melunak akibat tekanan atau kepentingan politik sehingga mengorbankan kedaulatan negara?
Persoalan tapal batas di Camar Bulan bukanlah "bom waktu" satu-satunya yang mengindikasikan kurangnya kepedulian pemerintah terhadap wilayah perbatasan. Tak hanya dengan Malaysia, RI masih punya sejumlah masalah perbatasan dengan enam negara lainnya, yakni Singapura, Vietnam, Filipina, Palau, Thailand, dan India.
Kasus lepasnya Pulau Sipadan dan Ligitan ke tangan Malaysia menunjukkan betapa lemahnya pemerintah dalam menjaga kedaulatan. Satu di antara pertimbangan badan arbitrase internasional ketika memutuskan Sipadan-Ligitan masuk wilayah Malaysia adalah negara itu sudah lebih lama melaksanakan kegiatan pembangunan di sana, termasuk mengentas masyarakatnya. Sementara Indonesia hanya mengklaim, tapi tidak mampu menunjukkan bukti keberadaannya di wilayah tersebut.
Kita khawatir, Camar Bulan akan benar-benar lepas. Saat ini, ibaratnya dusun itu sudah ada di genggaman Malaysia melalui MoU Semarang 1978, dan kita mencoba merebutnya kembali dengan mengacu pada Traktaat London 1824.
Pada kondisi saat ini, Malaysia sudah melakukan berbagai upaya untuk mempertahankan Camar Bulan, di antaranya menggerakkan pasukan Rela untuk menjaga wilayah perbatasan tersebut. Menurut informasi dari warga di sana, sedikitnya 3.000 anggota pasukan Rela bertugas di wilayah yang dicaplok tersebut.
Sangat disayangkan, kita tersadar Camar Bulan dicaplok setelah 33 tahun. Dan, sudah terlambat kalau baru sekarang kita menggerakkan sekitar 170 kepala keluarga atau sekitar 700 jiwa di sana untuk beraktivitas di kawasan sengketa. Pemerintah pusat pun kini seolah lepas tangan.
Rakyat Kalbar menggugat, siapa yang bertanggungjawab atas MoU Semarang 1978?
tribunnews.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar