Kejar Setoran Pengusaha Warteg Juga Akan Kena Pajak - Loverlem blog

Post Top Ad

loading...

03 Desember 2010

Kejar Setoran Pengusaha Warteg Juga Akan Kena Pajak


Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo punya cara baru mendongkrak pendapatan pajak di Ibukota. Mulai 1 Januari 2011, semua rumah makan dikenai pajak 10 persen, termasuk warung tegal atau warteg.

Masuknya warteg ini menjadi sasaran pajak, kata Kepala Bidang Peraturan dan Penyuluhan Dinas Pelayanan Pajak DKI Jakarta Arif Susilo, karena usaha warteg termasuk jenis usaha yang masuk dalam prasyarat obyek pajak seperti diatur dalam Undang-Undang No 28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.

Tapi tak semua warteg dikenai pajak. Kewajiban pajak akan berlaku bagi seluruh jenis rumah makan yang punya omset Rp60 juta pertahun, atau sekitar Rp5 juta perbulan, atau sekitar Rp167.000 perhari.

Dinas Pelayanan Pajak DKI juga akan mendata warteg yang masuk kategori itu. Setelah data didapat, akan dilakukan sosialisasi kepada asosiasi pengusaha rumah makan warteg.

Usulan pengenaan pajak warteg ini telah disetujui DPRD DKI, dan diatur dalam peraturan daerah yang saat ini sudah masuk di Badan Legislatif Daerah DKI Jakarta.

Arif memprediksi, dengan menerapkan pajak warteg, potensi pendapatan pajak akan bertambah Rp50 miliar. Apalagi jumlah warteg di Jakarta saat ini, dalam catatan Pemda, ada sekitar 2.000 unit.

Warteg protes

Penerapan pajak ini tentu membuat berang sejumlah pemilik warteg. Warung tegal Warmo, di Jalan Tebet Raya, Jakarta Selatan, misalnya, salah satu warung yang protes keras dengan rencana pungutan pajak ini.

Pemilik warung makan itu mempertanyakan maksud pemerintah menaikkan pajak. Selain tak ada sosialisasi, penerapan pajak akan membuat harga makanan naik. "Saya tak setuju, maksud pemerintah apa sih naikin pajak," ujar Ibu Warmo, pemilik warteg yang buka 24 jam ini.

Pungutan juga akan membuat bingung pedagang, dan menimbulkan protes keras dari konsumen mereka, "Kalau dinaikin pembeli jadi protes, sekarang harga sudah mahal. Saya tidak setuju," ujar pemilik warung yang tenatr di kawasan Tebet ini.

Ibu Warmo mengakui penghasilannya melebihi angka Rp60 juta setiap tahun. Tapi dia harus membayar gaji delapan karyawan, yang telah diperkerjakan sejak warung itu berdiri.

Lilih Solihat, pengelola Rumah Makan Pasundan di Jakarta Timur juga keberatan. Sebab pelanggannya kalangan menengah ke bawah. "Kalau harus dikenakan pajak lagi tentunya semakin memberatkan kami," katanya.

Sementara itu, pengelola Rumah Makan Bundo di Jakarta Timur, Andi Rianto, tak terlalu kaget dengan peraturan ini. Dia mengatakan telah mengikuti sosialisasi peraturan ini. "Dijelaskan bahwa DKI kekurangan dana. Salah satu cara, Pemprov mengenakan pajak pada pengusaha makanan," ujar Andi.

Sumber pungutan liar?

Anggota Komisi E DPRD DKI, Wanda Hamidah menilai pajak bagi warteg sebagai justifikasi pungutan liar pajak. Sebab tak semua bangunan warteg itu berdiri di atas lahan resmi. Banyak warteg dibangun di atas lahan Ruang Terbuka Hijau atau RTH. "Dan bila warteg-warteg 'ilegal' juga dikenakan pajak, ini seperti melegalkan pungutan liar," katanya.

Dia juga mempertanyakan alasan Pemprov DKI yang mengaku kekurangan uang hingga harus mengenakan pajak warteg. Kata dia Gubernur DKI Fauzi Bowo tak punya kendala keuangan. Di luar warteg, potensi pajak di Ibu Kota sangat besar. Tapi sayangnya, Pemda DKI tidak menggarapnya dengan maksimal.

"DKI memiliki potensi Pendapatan Asli Daerah (PAD) tinggi. Namun sayangnya beberapa triliun lenyap dari manajemen parkir yang tak beres. Banyak pajak menguap dari industri hiburan, pariwisata dan lainnya. Terlalu banyak mafia di DKI," ungkap politisi mantan artis ini.

Kecaman juga datang dari Ketua Umum Himpunan Pengusaha Muda Indonesia Erwin Aksa. Erwin menyarankan Pemprov DKI harus membina, dan memberi tempat layak bagi warteg sebelum membebani pajak. "Setelah warteg tertata lebih baik, mereka bisa menaikkan harga makanan. Setelah itu baru dibebani PPN," kata dia.

Erwin mengatakan, kondisi warteg saat ini masih memprihatinkan. Selain sering berada pada tempat tak layak, warteg kerap menggunakan tempat publik, seperti trotoar. "Ini sangat mengganggu," katanya. "Seharusnya Pemrov DKI melakukan pembenahan ribuan warteg dengan merelokasi ke tempat yang lebih layak, setelah itu baru mewacanakan pembebanan pajak."

Rencana Gubernur Fauzi Bowo atau akrab disapa Foke ini ditanggapi diplomatis oleh Wakil Gubernur Prijanto. Dia mengaku belum tahu pasti mengenai aturan pajak bagi rumah makan yang menyasar kepada warung tegal. Menurutnya, segela sesuatu yang menyengsarakan rakyat bisa jadi tidak baik.

Tapi dia menilai penerapan pajak bagi rumah makan sesuatu hal yang wajar. Menurutnya, pajak merupakan keharusan dan dikeluarkan setelah ada aturan. "Pajak itu sesuatu yang wajar, gaji pekerja saja kena pajak penghasilan," ujarnya.

Tapi kata dia harus dilakukan pembatasan penghasilan yang menjadi tolak ukur pengenaan pajak. "Kalau tidak wajar yang salah, tapi kalau wajar tentu benar," ujarnya.

Memukul rakyat kecil


Dinas Pelayanan Pajak Pemerintah DKI Jakarta punya pendapat lain. Mereka menilai pembebanan pajak atas dasar azas keadilan. Tidak sedikit warung tegal yang memiliki omzet lebih dari pada restoran. "Ada beberapa warteg yang memiliki omzet lebih tinggi dari restoran. Misalnya warteg Warmo di Tebet," ujar Kepala Dinas Pelayanan Pajak Pemprov DKI, Iwan Setiawandi.

Menurut Iwan, pedagang warteg tidak perlu khawatir terbebani dengan pengenaan pajak ini karena menganggap keuntungannya terpangkas akibat pajak. "Yang kenakan pajak adalah para pembeli. Jadi para pedagang warteg menaikkan harga 10 persen saat pembeli membayar makanan," ujarnya.

Menurutnya, dasar pengenaan pajak pada warteg adalah pajak restoran yang berlaku sejak lama, dan kini akan diintensifkan. Pajak ini tidak hanya untuk warteg saja, tapi setiap jasa yang menjual makanan dan minuman yang sifatnya menetap tidak keliling, maka dikenai pajak.

Sistem penarikan pajaknya sejumlah warteg masih akan menggunakan transaksi manual. Ada dua macam, pertama dengan cara resmi atau melalui pengecekan, dan pemerintah yang menetapkan berapa beban pajaknya. Kedua, self assesment, atau para pedagang makanan yang menyetor pajak langsung ke kantor pajak sesuai pemasukan yang mereka dapat.

Tapi alasan Dinas Pelayanan Pajak DKI itu tidak diterima Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI). Menurut Ketua Dewan Pembina YLKI, Indah Sukmaningsih selama ini Pemda DKI sudah mendapat pemasukan tinggi dari pajak sepeda motor. Namun, toh Pemda DKI pun belum bisa memberikan pelayanan yang baik bagi pemilik sepeda motor karena kemacetan Jakarta yang makin luar biasa.

Menurut dia, ini saatnya publik mempertanyakan berbagai aliran uang yang ditarik Pemda Jakarta dari masyarakat selama ini. "Sekarang mereka mau tarik pajak dari warteg dan warung nasi lainnya. Pemda DKI bisa kasih janji apa? Ini ide yang sangat tidak kreatif dan hanya mencari gampangnya. Gubernur DKI benahi dulu kinerjanya," ujar Indah menegaskan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Post Bottom Ad

loading...