Sebenarnya tak mudah untuk berselingkuh, diselingkuhi ataupun menjadi selingkuhan. Apalagi untuk seorang pemula. Pemula di sini dalam arti ia tak pernah sama sekali bertindak secara fisik untuk berselingkuh, dan tentu saja dalam konteks sebuah rumah tangga. Bukan selingkuh dari kegiatan berpacaran ala anak esema.
Mengapa kukatakan tak mudah? Tentulah tak mudah, dalam hal ini sebagai peselingkuh. Memanage waktu, menampilkan sikap bersandiwara, merayu kedua belah pihak bila sedang “merajok” karena merasa waktu yang diberikan kurang. Sungguh tak nyaman rasanya. Namun, mengapa banyak saja yang masih tak jera? Belum lagi sang selingkuhan, mau-maunya disimpan terus terusan, tak pernah diakui sebagai kekasih, sering menangis sendirian karena merasa tak diperhatikan. Namun, sama juga dengan sebelumnya, tetap saja ada yang bersedia.
Hal-hal menarik di atas memacu otakku untuk mencari tau, kenapa sih mereka semua? Apakah kegiatan berselingkuh itu sungguh nikmat? Mungkin memang memicu adrenalin lebih kencang, memerahkan pipi seperti ketika baru pertama berpacaran, berdebar-debar membaca pesan dari sang kekasih baru. Sungguh petualangan yang seru.
Namun biasanya kegiatan itu tak lama, para peselingkuh itu tak ingin pula meninggalkan zona nyamannya bersama istri dan anak-anaknya. Barangkali persentase peselingkuh yang meninggalkan keluarganya demi kekasih baru sangat sedikit dibandingkan peselingkuh yang tetap bersama keluarganya. Mereka lebih mempertimbangkan martabat diri dan keluarganya. Sebagian karena begitu mencintai anak-anaknya dan takut bila berpisah.
Bila membaca beberapa komentar yang pernah masuk pada postinganku terdahulu, banyak yang menganggap bahwa selingkuh itu didasari oleh hawa nafsu. Padahal tak selamanya begitu, memang mungkin pada mulanya ketertarikan fisiklah yang memulai sebuah hubungan terlarang itu, namun tak sedikit pula yang didasari oleh rasa cinta. Klise memang kedengarannya tapi begitulah. Bagaimana seorang pria beristri yang begitu mencintai istri dan anak-anaknya, begitu saja jatuh cinta pada seorang wanita lain, dan ketika cinta itu berbalas, maka hancurlah hidupnya karena tak bisa memilih.
Tinggal kita saja yang menentukan sendiri apakah masih ingin berselingkuh? opini dari : julie-kompasiana
Mengapa kukatakan tak mudah? Tentulah tak mudah, dalam hal ini sebagai peselingkuh. Memanage waktu, menampilkan sikap bersandiwara, merayu kedua belah pihak bila sedang “merajok” karena merasa waktu yang diberikan kurang. Sungguh tak nyaman rasanya. Namun, mengapa banyak saja yang masih tak jera? Belum lagi sang selingkuhan, mau-maunya disimpan terus terusan, tak pernah diakui sebagai kekasih, sering menangis sendirian karena merasa tak diperhatikan. Namun, sama juga dengan sebelumnya, tetap saja ada yang bersedia.
Hal-hal menarik di atas memacu otakku untuk mencari tau, kenapa sih mereka semua? Apakah kegiatan berselingkuh itu sungguh nikmat? Mungkin memang memicu adrenalin lebih kencang, memerahkan pipi seperti ketika baru pertama berpacaran, berdebar-debar membaca pesan dari sang kekasih baru. Sungguh petualangan yang seru.
Namun biasanya kegiatan itu tak lama, para peselingkuh itu tak ingin pula meninggalkan zona nyamannya bersama istri dan anak-anaknya. Barangkali persentase peselingkuh yang meninggalkan keluarganya demi kekasih baru sangat sedikit dibandingkan peselingkuh yang tetap bersama keluarganya. Mereka lebih mempertimbangkan martabat diri dan keluarganya. Sebagian karena begitu mencintai anak-anaknya dan takut bila berpisah.
Bila membaca beberapa komentar yang pernah masuk pada postinganku terdahulu, banyak yang menganggap bahwa selingkuh itu didasari oleh hawa nafsu. Padahal tak selamanya begitu, memang mungkin pada mulanya ketertarikan fisiklah yang memulai sebuah hubungan terlarang itu, namun tak sedikit pula yang didasari oleh rasa cinta. Klise memang kedengarannya tapi begitulah. Bagaimana seorang pria beristri yang begitu mencintai istri dan anak-anaknya, begitu saja jatuh cinta pada seorang wanita lain, dan ketika cinta itu berbalas, maka hancurlah hidupnya karena tak bisa memilih.
Tinggal kita saja yang menentukan sendiri apakah masih ingin berselingkuh? opini dari : julie-kompasiana
Tidak ada komentar:
Posting Komentar