Seusai sarapan dan check out di sebuah hotel di kawasan kota tua Hanoi, perjalanan ke Halong Bay pun dimulai pagi itu. Tur ke salah satu situs alamiah nan ajaib di dunia, yang sempat masuk dalam daftar calon New 7 Wonders of Nature, itu melewati jalan lebar tanpa pemandangan indah, bahkan cenderung membosankan.
Kami naik mobil travel L-300 ke arah utara Hanoi. Di dalam mobil ada, antara lain, Din Huyen Tram, pegawai Kementerian Kebudayaan, Olahraga, dan Pariwisata Vietnam; dua staf Kedutaan Besar Republik Indonesia di Hanoi, yakni Ibu Ana dan Pak Nyoman. Tram saat itu menjadi pemandu.
Jalan yang dilalui cukup lebar dan bebas hambatan, tetapi berdebu. Salah satu kota terparah akibat tertutup debu adalah Cam Pha. Rumah dan bangunan lain, jalan serta tanaman di sini tertutup debu. Warga memakai topi dan masker. ”Debu dari industri tambang batu bara,” kata Tram.
Rasa bosan di perjalanan bisa dihalau dengan mendengar musik dari iPod, ngobrol, membaca buku tentang Vietnam, atau tidur. Sebelum melewati Cam Pha, mobil berhenti di sebuah pusat kerajinan memahat batu, mengukir, melukis, dan menganyam. Pekerjanya adalah para penyandang cacat fisik.
Mobil yang kami tumpangi akhirnya melaju lagi. Tidak lama berselang, kami sudah memasuki perbatasan Provinsi Quanh Ninh. Pemandangan pantai pun mulai menghibur perjalanan yang sebelumnya datar. Tiga jam setelah meninggalkan Hanoi dengan jarak sekitar 100 kilometer, kami tiba di Dermaga Bay Cay.
Tampak ada banyak kapal kayu (junk). Salah satunya siap mengangkut kami menuju ke pulau cadas, Thien Cung Grotto, untuk melihat gua stalaktit dan stalakmit terbesar di kawasan itu, Don Tien Chung. Ketika berada di ”lautan lepas”, tampak banyak sekali junk dengan model, ukuran, dan jenis yang berbeda-beda.
Kapal kayu dengan satu lantai, seperti yang ditumpangi saat itu, untuk day-tour saja yang hanya melayani makan siang di kapal dan kembali ke Hanoi pada sore harinya, atau menginap di hotel di kota Halong Bay. Kapal ini berkapasitas 20 orang.
Ada juga kapal dengan dua lantai, hanya untuk private cruise dengan restoran di lantai duanya. Ada kapal yang menjadi hotel, jenis kabin pun dibeda-bedakan. Tarifnya sangat mahal. Bisa lebih dari satu juta dong atau Rp 500.000 per malam.
Perjalanan dimulai dengan sorak kegirangan menyaksikan indahnya panorama teluk. Di teluk ini, dengan luas sekitar 1.500 persegi, berserakan 1.996 pulau karang dan sebagian di antaranya tampak hijau. Hamparan ini termasuk salah satu world heritage oleh Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan PBB (UNESCO). Tiba-tiba kabut menghalangi pemandangan antarpulau.
Menurut literatur tentang Halong Bay, di pulau-pulau itu terdapat 435 jenis tanaman, 22 spesies hewan laut, dan 76 spesies burung. Selain itu terdapat 28 varietas mangrove, 315 spesies ikan, serta 545 spesies hewan invertebrate dan 234 jenis koral. ”Halong Bay adalah lukisan alam yang indah,” kata Tram.
Kapal yang kami tumpangi cukup nyaman. Sekitar 30 menit berlayar, Tram mengatakan, ”Itu Thien Cung Grotto, tujuan kita kali ini”. Thien Cung artinya istana surga. Pulau itu tampak diselimuti hutan lebat. Setelah turun ke dermaga, menaiki 51 anak tangga dari batu alam, kami tiba di pintu sempit menuju gua.
Semua orang tampak terpesona, tertegun sejenak, begitu mengetahui dirinya sudah berada di dalam gua. Melibat tata letak cahaya lampu buatan yang menyorot ke bagian-bagian paling menonjol dan berkarakter legenda gua itu, seolah sedang merasakan alam fantasi dunia animasi. Usia pulau karang itu 11.000-700.000 tahun.
Menurut legenda yang dituturkan oleh salah seorang pemandu di gua itu, seorang wanita muda bernama Mei tertangkap mata Pangeran Naga dan ia jatuh cinta padanya. Mereka bertunangan. Pesta pernikahan berlangsung selama tujuh hari dan tujuh malam di pusat gua tersebut.
Untuk menghormati pernikahan mereka, naga kecil terbang melalui stalaktit dan stalakmit. Gajah pun ikut menari bahagia, ular melilitkan dirinya seperti sedang memintal kain di sekitar pohon. Seekor gajah besar, berpakaian rapi, menunggu mengangkut pengantin. Para jin dari berbagai penjuru juga datang menghadiri jamuan makan.
”Semua adegan itu kini telah membatu dalam gua,” kata Nona Thuy, pemandu di gua itu.
Di tengah-tengah gua ada empat pilar besar mendukung ”atap langit.” (roof of heaven). Dari dasar ke puncak banyak gambar aneh burung, ikan, bunga, dan bahkan pemandangan kehidupan manusia. Pada dinding utara gua sekelompok peri tampak menari dan bernyanyi untuk menghormati pernikahan.
Sesampainya di bagian terakhir dari gua, tampak aliran air alami dari lubang cadas. Ada tiga kolam kecil air yang jernih. Di dalam kolam kecil itu berserakan recehan dollar dan dong. Menurut legenda, di kolam ini Mei memandikan 100 anaknya, membuat mereka bijaksana dan bahagia menjadi remaja.
Satu lorong keluar dari gua adalah jalan untuk Mei bersama dengan 50 anak-anaknya turun ke lahan panen baru. Ke-50 anak yang tersisa, bersama dengan ayah mereka, ditinggalkan untuk membangun negeri yang asli.
Makan siang di kapal sore itu terasa nikmat. Menunya spesial, tidak jauh dari ikan. Setelah makan, kapal membawa kami melewati karang-karang yang luar biasa indahnya. Di bawah langit dengan cuaca mendung dan dingin, bersuhu sekitar 16 derajat celsius, kami menuju hotel tempat menginap selama semalam sebelum pulang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar