Sementara perempuan di seantero dunia berjuang menurunkan berat badan dan menjaga kebugaran tubuh, perempuan di Mauritania berusaha menjadi segemuk mungkin. Beberapa ibu bahkan mempertahankan tradisi memaksa putrinya untuk makan dengan harapan menjamin pernikahan dini dan status sosial lebih tinggi.
Dr. Sidi Ahmed al-Bekay, peneliti Mauritania soal isu-isu perempuan, menjelaskan bahwa pilihan atas wanita gemuk dulu pernah menjadi tradisi di sejumlah daerah dan budaya. Pelestarian tradisi ini di Mauritania -terutama di pedesaan- sebagian karena keterkucilan negeri tersebut.
Akibat makin besarnya pengaruh Barat, praktek paksa makan terhadap anak perempuan, makin jarang. Tapi menurut pegiat HAM, kegiatan itu kembali dilakukan sejak kudeta 2008. Ketika junta militer menarik lagi banyak kemajuan yang telah dicapai di bidang emansipasi wanita.
"Gadis berusia enam atau tujuh tahun dipaksa atau disiksa minum dalam jumlah besar susu berlemak dan makanan lain," cerita aktivis Ayishtu bint Ahmed.
"Para ibu menyiksa putri mereka dengan memaksanya minum susu dan makan couscous (makanan khas Afrika) dicampur dengan mentega untuk menjamin mereka bisa menikah pada usia 12 atau 13 tahun."
Luka seumur hidup
Binti Ahmed percaya praktek-praktek macam ini meninggalkan luka dalam, ditambah sebuah pernikahan dengan laki-laki yang biasanya jauh lebih tua. Dampak terhadap gadis muda bahkan lebih besar, karena mereka juga mengalami proses sunat, yang tersebar luas di Mauritania.
Obesitas membawa masalah kesehatan, seperti penyakit diabetes serta jantung. Tahun-tahun belakangan penggunaan hormon atau obat lain untuk mempercepat proses menggemukkan badan membawa risiko kesehatan lain.
"Dewasa dan kurus"
Namun, baik al-Bekay mau pun Binti Ahmed optimis standar dan norma kecantikan perempuan mengalami perubahan. Menurut Bint Ahmed "laki-laki muda berpendidikan tidak lagi mendambakan gadis muda gemuk. Mereka lebih memilih perempuan dewasa dan kurus."
Bint Ahmed menambahkan pada umumnya hanya dilakukan oleh warga Mauritania berbahasa Arab, "Orang Mauritania berdarah Afrika, sekitar 30% dari penduduk, tidak tahu praktek-praktek ini."
Mauritania memiliki hukum ketat yang mengatur kekerasan terhadap perempuan, dan menetapkan batas umur minimum pernikahan untuk anak perempuan berusia 18 tahun. Meskipun perlindungan hukum, anak perempuan di pedesaan sering disuruh menikah ketika berusia 12 tahun. Praktek paksa makan, menurut undang-undang, tidak dihukum.
Menurut Al-Bekay meningkatkan kesadaran masyarakat lebih efektif daripada pendekatan hukum. Ia menambahkan LSM telah bertindak tepat dengan menunjuk pada akar permasalahannya.
Tingkat tinggi perceraian
Dampak ironis dari tradisi lama pernikahan dini ini adalah tingkat tinggi perceraian di Mauritania dibandingkan dengan negara-negara Islam lainnya. 38% wanita Mauritania bercerai atau menikah lagi. Perempuan yang telah bercerai biasanya cepat menikah lagi dan memiliki status sosial terhormat. Bahkan, laki-laki kadangkala lebih memilih menikahi janda, cerita Binti Ahmed.
"Menikahi seorang gadis berusia 13 tahun tidak pernah membuat mereka puas dan tidak menjadi awal baik untuk kehidupan keluarga yang baik. Setelah mengalami susahnya menikah dengan seorang perempuan berusia 13 tahun, banyak pria mencari janda dewasa."
Dr. Sidi Ahmed al-Bekay, peneliti Mauritania soal isu-isu perempuan, menjelaskan bahwa pilihan atas wanita gemuk dulu pernah menjadi tradisi di sejumlah daerah dan budaya. Pelestarian tradisi ini di Mauritania -terutama di pedesaan- sebagian karena keterkucilan negeri tersebut.
Akibat makin besarnya pengaruh Barat, praktek paksa makan terhadap anak perempuan, makin jarang. Tapi menurut pegiat HAM, kegiatan itu kembali dilakukan sejak kudeta 2008. Ketika junta militer menarik lagi banyak kemajuan yang telah dicapai di bidang emansipasi wanita.
"Gadis berusia enam atau tujuh tahun dipaksa atau disiksa minum dalam jumlah besar susu berlemak dan makanan lain," cerita aktivis Ayishtu bint Ahmed.
"Para ibu menyiksa putri mereka dengan memaksanya minum susu dan makan couscous (makanan khas Afrika) dicampur dengan mentega untuk menjamin mereka bisa menikah pada usia 12 atau 13 tahun."
Luka seumur hidup
Binti Ahmed percaya praktek-praktek macam ini meninggalkan luka dalam, ditambah sebuah pernikahan dengan laki-laki yang biasanya jauh lebih tua. Dampak terhadap gadis muda bahkan lebih besar, karena mereka juga mengalami proses sunat, yang tersebar luas di Mauritania.
Obesitas membawa masalah kesehatan, seperti penyakit diabetes serta jantung. Tahun-tahun belakangan penggunaan hormon atau obat lain untuk mempercepat proses menggemukkan badan membawa risiko kesehatan lain.
"Dewasa dan kurus"
Namun, baik al-Bekay mau pun Binti Ahmed optimis standar dan norma kecantikan perempuan mengalami perubahan. Menurut Bint Ahmed "laki-laki muda berpendidikan tidak lagi mendambakan gadis muda gemuk. Mereka lebih memilih perempuan dewasa dan kurus."
Bint Ahmed menambahkan pada umumnya hanya dilakukan oleh warga Mauritania berbahasa Arab, "Orang Mauritania berdarah Afrika, sekitar 30% dari penduduk, tidak tahu praktek-praktek ini."
Mauritania memiliki hukum ketat yang mengatur kekerasan terhadap perempuan, dan menetapkan batas umur minimum pernikahan untuk anak perempuan berusia 18 tahun. Meskipun perlindungan hukum, anak perempuan di pedesaan sering disuruh menikah ketika berusia 12 tahun. Praktek paksa makan, menurut undang-undang, tidak dihukum.
Menurut Al-Bekay meningkatkan kesadaran masyarakat lebih efektif daripada pendekatan hukum. Ia menambahkan LSM telah bertindak tepat dengan menunjuk pada akar permasalahannya.
Tingkat tinggi perceraian
Dampak ironis dari tradisi lama pernikahan dini ini adalah tingkat tinggi perceraian di Mauritania dibandingkan dengan negara-negara Islam lainnya. 38% wanita Mauritania bercerai atau menikah lagi. Perempuan yang telah bercerai biasanya cepat menikah lagi dan memiliki status sosial terhormat. Bahkan, laki-laki kadangkala lebih memilih menikahi janda, cerita Binti Ahmed.
"Menikahi seorang gadis berusia 13 tahun tidak pernah membuat mereka puas dan tidak menjadi awal baik untuk kehidupan keluarga yang baik. Setelah mengalami susahnya menikah dengan seorang perempuan berusia 13 tahun, banyak pria mencari janda dewasa."
Tidak ada komentar:
Posting Komentar