Ritual ini datang dari nenek moyang warga di Desa Mamala dan Morella, Kecamatan Leihitu Pulau Ambon, Kabupaten Maluku Tengah. Warga setempat biasa menyebutnya sebagai ritual adat 'Pukul Sapu'.
Pukul Sapu Lidi di Ambon
'Pukul Sapu' merupakan ritual tahunan yang digelar setiap 7 Syawal - setelah umat Muslim merayakan Idul Fitri. Budaya adat 'Pukul Sapu' di kedua desa ini memiliki hubungan darah dari satu leluhur dan telah dilakukan sejak abad-16 lalu.
Biasanya ritual ini berupa atraksi saling pukul - memukul dengan batangan lidi yang diambil dari batang daun pohon Aren. Dua kelompok Di Desa Morella misalnya, karena banyaknya warga yang membanjiri lokasi atraksi, para pemainnya dibatasi 20 orang pemuda berbadan tanggung, bertelanjang dada yang terbagi dalam dua kelompok. Untuk membedakannya, satu kelompok diwajibkan menggunakan celana dan penutup kepala bewarna merah, sedangkan kelompok lainnya bewarna kuning. Sehari sebelum ritual adat dilakukan, para pemuda yang akan mengikutinya telah dikumpulkan dalam rumah adat masing-masing untuk dilakukan upacara adat, serta berdoa meminta pertolongan dan restu Sang Pencipta serta para leluhur serta memberkati para pemuda yang akan mengikuti ritual tersebut.
Dengan memegang dua ikat batangan lidi yang masih mentah, kedua regu kemudian saling berhadap-hadapan, sambil menunggu bunyi peluit yang ditiup pimpinan adat. Saat seruling berbunyi kelompok bercelana merah lebih dulu memukul kelompok bercelana kuning. Begitupun sebaliknya saat seruling dibunyikan, giliran kelompok bercelana kuning yang melakukan serangan dan memukul kelompok bercelana merah.
Masing-masing pemuda dengan menggunakan 2-3 batang lidi - berukuran lebih besar dua kali lipat dari sapu lidi biasa - memukul berkali-kali badan lawannya dengan sekuat tenaga. Area pukulan dibatasi dari dada hingga perut.
Sabetan lidi yang mengenai badan lawan mengeluarkan bunyi cukup keras menyerupai lecutan cambuk. Tidak jarang tiga batang lidi yang digunakan sudah hancur hanya pada tiga atau empat kali sabetan.
Pukulan lidi berkali-kali menyebabkan guratan merah memanjang sekujur tubuh para pemain, dan kebanyakan mengeluarkan darah segar, terkadang potongan batangan lidi turut tertancap pada kulit dan luka di tubuh mereka.
Namun, tidak sedikit pun terlihat atau terdengar erangan dan jeritan kesakitan para pemain akibat sabetan lidi. Sebaliknya mereka ketagihan untuk dipukul berulang kali. Tidak jarang warga yang berada terlalu dekat di arena juga terkena cambukan batang lidi para pemain, sehingga harus meringis kesakitan.
Para penonton terlihat ngeri dan tak jarang berteriak histeris menyaksikan aksi "baku pukul" itu. Beberapa pemuda seusai mengikuti acara adat tersebut, mengaku tidak merasakan sakit pada sekujur tubuhnya yang memar, terluka serta mengeluarkan darah segar akibat sabetan lidi tersebut.
"Sabetannya hanya menimbulkan rasa gatal-gatal, sehingga membuat kami ketagihan untuk terus dipukul dengan batang lidi," ujar beberapa pemain.
Tradisi pukul sapu yang digelar masyarakat dua desa bertetangga setiap 7 Syawal atau seminggu pasca-lebaran itu, memiliki hikayat berbeda. Tradisi ini digelar masyarakat kedua desa itu untuk mengenang perjuangan Kapitan Tulukabessy menentang penjajahan Portugis dan Belada pada abad ke-16.
Satu hal yang membedakan pukul sapu di Desa Morella dengan Desa Mamala adalah proses penyembuhan bercak bekas sabetan dan luka-luka di sekujur badan. Para pemain dipukul sapu di Desa Morella menggunakan memoleskan getah daun jarak di tubuh masing-masing sehabis berlaga, sedangkan pemuda Desa Mamala menggunakan minyak kelapa khusus yang disebut 'Nyualaing Matetu' atau yang lebih dikenal dengan minyak 'Tasala' (keseleo, red).
Di kalangan masyarakat Ambon atau Maluku pada umumnya, minyak ini lebih dikenal dengan sebutan 'minyak Mamala' yang khasiatnya telah terbukti ampuh untuk mengobati penyakit patah tulang dan keseleo. Kedua cara itu akan menyembuhkan goresan cambukan dan luka-luka dalam satu-dua hari tanpa meninggalkan bekas sama sekali.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar